Resiko Penggunaan Antibiotik Berlebih di Masyarakat

Penggunaan antibiotik di masyarakat Indonesia sungguh mengkhawatirkan. Tampaknya ada suatu tren bahwa penyakit apa saja yang diderita, antibiotik pasti disertakan. Seolah-olah antibiotik dianggap obat “dewa” yang mampu mengatasi semua penyakit. Celakanya, antibiotik sering kali dikonsumsi tanpa peresepan dari dokter. Saya sendiri mengalami peristiwa yang cukup mencengangkan. Pasien datang dengan keluhan sakit kepala, yang tidak membaik dengan minum obat (dibeli secara pribadi). Saat ditanya obat apa saja yang telah diminum, ternyata amoxicilin (salah satu jenis antibiotik) juga termasuk dalam daftar obat yang diminum. Padahal, tidak ada indikasi pemberian antibiotik untuk nyeri kepala yang dialami pasien. Ini sama halnya ingin menangkap burung dengan alat pancing, tidak sesuai antara apa yang ingin didapat dengan senjata yang digunakan. 

Dokter, sebagai pemberi pelayanan kesehatan, berupaya melakukan pemikiran yang rasional mengenai perlu-tidaknya memberikan antibiotik sebagai salah satu terapi dalam menangani suatu penyakit. Dibutuhkan pendidikan dan pengalaman yang berkelanjutan untuk dapat menentukan “penyakit mana” yang memerlukan “pengobatan apa”. Pemikiran semacam itu akan terus berputar di dalam pikiran dokter dengan harapan pasien dapat sembuh dengan pengobatan yang tepat.

Mengapa harus berpikir sedemikian rumitnya hanya untuk meresepkan antibiotik? Menjawab pertanyaan ini perlu kembali kepada prinsip dari obat. Kita harus ingat bahwa setiap obat medis memiliki efek yang diinginkan (sesuai indikasi) dan efek samping. Munculnya efek samping pada setiap orang dapat berbeda-beda. Itulah kenapa produsen obat menuliskan pada bungkus (etiket) obat beberapa efek samping yang mungkin muncul.

Bahaya Antibiotik

Dalam pertemuan ilmiah di Bali, DR.dr. I Dewa Made Sukrama, Sp.MK(K) - selaku ketua pelaksana kongres nasional PAMKI (Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia) 2014 - mengungkapkan penggunaan antibiotik yang tidak rasional (tidak tepat indikasi) akan memberikan dampak negatif bagi pasien, khususnya di bidang kesehatan dan finansial. Bahaya yang sangat dikhawatirkan adalah terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yang diberikan. Artinya, antibiotik yang biasanya mampu membunuh bakteri tersebut sudah tidak berguna lagi karena bakteri membentuk sistem pertahanan untuk mengatasi serangan antibiotik. Dampaknya akan sangat besar sekali. 

Pertama, antibiotik yang digunakan harus diganti dengan kelas antibiotik yang lebih tinggi atau dilakukan kombinasi antibiotik,

Kedua, saat dilakukan kombinasi antibiotik berarti resiko efek samping juga berlipat,

Ketiga, kelas antibiotik yang lebih tinggi atau kombinasi antibiotik cenderung memiliki harga finansial yang lebih tinggi pula,

Keempat, sayangnya tidak selamanya terdapat antibiotik dengan kelas yang lebih tinggi, sehingga perlu penelitian lebih lanjut mencari antibiotik atau obat yang dapat membunuh bakteri tersebut. Biasanya penelitian semacam ini memberlukan waktu puluhan tahun.

Anda mungkin tidak merasakan efek resistensi obat dengan segera. Namun, ada pula efek samping yang dapat muncul dalam rentang waktu lebih cepat. Beberapa diantaranya sebagai berikut :

Reaksi Alergi. Bentuk reaksi alergi oleh karena antibiotik pada setiap orang dapat berbeda-beda. Ada yang mengalami reaksi alergi ringan seperti gatal-gatal dan kemerahan pada kulit, batuk-batuk, dan diare. Bahkan, ada yang mengalami reaksi alergi yang mengancam jiwa dengan kulit yang melepuh, sesak nafas, dan terhentinya pompa jantung.

Gangguan pada telinga. Beberapa jenis antibiotik memiliki efek merusak fungsi telinga (ototoxic). Kemampuan pendengaran akan menurun dengan cepat. Syukurnya, dalam beberapa kasus, fungsi pendengaran akan membaik apabila obat antibiotik tersebut dihentikan penggunaannya.

Gangguan pada Anak. Antibotik (contohnya tetraciklin) diketahui menyebabkan efek perubahan warna gigi pada anak. Begitu juga terdapat antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan tulang anak sehingga anak tersebut tidak dapat tumbuh tinggi dengan optimal.

Gangguan pertumbuhan janin. Resiko yang mengkhawatirkan juga terjadi pada janin apabila ibu yang sedang mengandung mengonsumsi antibiotik. Beberapa golongan antibiotik memiliki kriteria berbahaya bagi janin (atau dikenal dengan sebutan teratogenik). Pertumbuhan janin bisa menjadi tidak normal dan menunjukan suatu kelainan fisik.

Bersikap Cerdas

Seorang rekan sempat bercanda, bahwa membeli antibiotik di Indonesia ini sama seperti membeli kacang, dapat dengan mudah dicari dan dibeli. Sepertinya guyonan rekan Saya itu hanya dapat dijawab oleh diri kita masing-masing. Padahal, sudah jelas tergambar pada kotak obat antibiotik simbol lingkaran merah dengan huruf K. Artinya, antibiotik merupakan kelompok obat keras dan hanya dapat dibeli dengan peresepan dokter. 

Di era yang semakin maju sekarang ini, masalah kesehatan bukan lagi masalah yang “gelap gulita”. Masyarakat dapat mengakses informasi mengenai kesehatan di berbagai media. Namun, Anda juga harus menjadi bagian dari masyarakat yang cerdas menyerap informasi-informasi kesehatan tersebut. Ada batasan-batasan di mana pengobatan atau tindakan medis perlu didiskusikan terlebih dahulu bersama dengan dokter Anda, salah satunya dalam penggunaan antibiotik. Jangan sampai Anda mengalami efek samping oleh karena mengkonsumsi antibiotik secara sembarangan. Saya harap, informasi ini dapat menjadi masukan bagi Anda untuk lebih bijak dalam menjaga kesehatan Anda. Salam sehat selalu.