"Pisau di tangan chef akan menciptakan masakan yang menggugah
selera. Pisau di tangan pembunuh akan menyakitkan banyak jiwa."
Program dari dinas kesehatan untuk membagikan kondom bagi
masyarakat dengan resiko tinggi tertular penyakit kelamin menuai banyak
tanggapan. Kritik pro dan kontra bermunculan. Patutkah program itu dijalankan
di Indonesia dengan masyarakat yang dikenal menjunjung nilai keagamaan dan
kesusilaan?
Pamor masyarakat Indonesia dengan tingginya nilai keagamaan
dan kesusilaan tidak dapat menutup kenyataan bahwa angka HIV (salah satu
penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman)
semakin tahun semakin tinggi. Kita tidak dapat menutup mata dengan fakta yang
ada. Segala upaya harus dilakukan untuk menjaga generasi Indonesia yang sehat
dan kuat.
Beberapa orang barang kali tidak mengetahui bahaya di balik
penularan virus ini. Bagi yang sudah mengetahui (bahkan yang sudah
menjalaninya) pasti sangat was-was. Siapa sih yang mengharapkan tertular
penyakit ini? Saya jamin tidak ada yang ingin tertular. Masalahnya, ketidak
inginan saja tidak cukup. Perlu upaya penjegahan, salah satunya mengurangi
resiko terpapar virus ini. Nah, masalahnya lagi, terkadang meskipun resiko
sudah diturunkan (misalnya sudah tidak menggunakan alat suntik secara
sembarangan, tidak berhubungan dengan orang lain selain dengan pasangan,
transfusi yang aman, dsb), HIV masih mengintai. Bagi ibu-ibu di rumah, resiko
untuk tertular HIV mungkin rendah. Tapi, bagaimana dengan suami mereka? Sering
kali, paparan resiko tertular HIV dibawa oleh orang yang dekat dengan diri
kita.
Salah satu penjegahan yang rasional terutama untuk
mengurangi resiko terpapar HIV bagi mereka dengan kebiasaan berganti-ganti
pasangan intim adalah dengan menggunakan kondom. Kepada siapakah seharusnya
promosi kondom ini diberikan? Idealnya, kepada seluruh lapisan masyarakat (baik
pria maupun wanita) diberikan promosi kondom ini. Tentunya pada usia yang sudah
“melek” hubungan seksual.
Apakah itu termasuk remaja-remaja kita?